Perang Pemikiran dan Hilangnya Jati Diri (3)

“Ketika generasi kehilangan jati diri, maka yang mereka warisi bukan lagi kejayaan, melainkan kebingungan yang diwariskan lintas zaman.”

Sebagian besar generasi pemeluk agama ilahi hari ini terlahir sebagai pribadi yang insecure, dibesarkan oleh orang tua yang—dalam banyak kasus—gagal menanamkan rasa percaya diri yang kokoh dalam diri anak-anak mereka.

Kedua mata mereka tidak pernah benar-benar dibukakan untuk melihat siapa diri mereka sebenarnya. Padahal, mereka lahir dari rahim mulia agama ilahi, yang pernah menelurkan generasi emas—generasi yang membawa agama dan bangsanya berdiri tegak, disegani, dan dihormati oleh peradaban dunia.

Ironisnya, banyak dari generasi hari ini bahkan tidak menyadari bahwa mereka pernah memiliki Baitul Hikmah (House of Wisdom), sebuah institusi agung dalam sejarah ilmu pengetahuan dunia. Tempat itu pernah menjadi pusat intelektual terbesar, yang menjadikan masa itu dikenal sebagai The Golden Age.

Pandangan mereka juga tidak pernah dihadapkan pada cahaya peradaban Andalusia—satu-satunya lentera yang menyinari zaman kegelapan Eropa selama berabad-abad. Warisan intelektual dan spiritual ini nyaris tak dikenalkan dalam perjalanan pendidikan mereka.

Agama palsu—yang tanpa sadar telah diadopsi sebagian besar keluarga pemeluk agama ilahi—telah membentuk cara pandang yang salah dalam mendidik anak-anak mereka. Dampaknya, generasi ini tumbuh dengan identitas yang rapuh, cenderung insecure, dan kehilangan kebanggaan terhadap jati dirinya sendiri.

Akibatnya, mereka lebih memilih tumbuh bersama identitas lain: agama palsu, lengkap dengan nilai, gaya hidup, dan standar sosialnya. Maka lahirlah sebuah peradaban yang dibangun di atas pondasi arogansi dan gengsi, bukan keimanan dan integritas.

Anak-anak yang tumbuh dalam peradaban seperti ini akan terus dituntut untuk hidup demi pengakuan dan pujian dari manusia, bukan lagi demi meraih ridha Tuhan sebagaimana para pendahulu mereka.

Akhir dari proses panjang ini adalah terbentuknya sebuah “Sick Society”—masyarakat yang sakit—yang hidupnya hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat materialistik, fanatisme terhadap merek, dan ketergantungan terhadap tren.

Demi diterima, dianggap bernilai, dan terlihat berharga, banyak pemeluk agama ilahi hari ini rela menghalalkan segala cara. Mereka tidak lagi peduli pada jalan hidup yang telah diteladankan oleh manusia terbaik sepanjang masa: Rasul-Nya.

Cara hidup mereka kini tak lagi berpedoman pada apakah sesuatu sesuai dengan petunjuk Tuhan, tetapi pada apakah itu sesuai dengan standar orang-orang kebanyakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *